Selamat Datang di Blog Wanita Sosial(ita), Semoga Bermanfaat

Senin, 06 Oktober 2014

MANTUQ MAFHUM MUSYTARAK MURODIF - Ushul Fiqh



KAIDAH  KAIDAH  USHUL  FIQIH
MANTUQ  MAFHUM  MUSYTARAK  MURODIF





      I.            PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Hukum Islam dan kaidah-kaidah Ushul Fiqih tantangan lebih serius, terutama pada abad kemajuan ilmu pengetahuan teknologi. Maka dari itu untuk menjawab berbagai permasalahan yang kompleks dalam konteks hukum Islam, para ahli sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan ilmu tentang fikih dan hasil ijtihad dimasa lampau. Hal ini di sebabkan warisan fikih yang terdapat dalam buku-buku klasik terbatas kemampuannya dalam menjangkau masalah-masalah baru yang belum ada sebelumnya.
Oleh karena itu umat Islam perlunya mengadakan penyegaran kembali terhadap warisan ilmu fikih dengan banyak mengkaji  serta mengimplementasikan ilmu ushul fiqih beserta kaidah-kaidahnya. Karena dalam menafsirkan Al-Qur’an, kita harus mengetahui kaedah-kaedahnya. Apalagi untuk menetapkan suatu hukum. Dalam ilmu ushul fiqh, pemaknaan lafal Al-Qur’an yang digunakan untuk menentukan suatu hukum.
ushul fiqih diataranya : Mantuq ,Mafhum ,Mutlaq ,Muqoyyad  yang akan di bahas dalam makalah ini.
B.       Rumusan Maslah
1.      Apa pengertian dan pembagian Mantuq ?
2.      Apa pengertian, syarat, serta macam-macam Mafhum?
3.      Apakah  pengertian dan hukum dari lafadz Mustarok ?
4.      Bagaimanakah penjelasan dari lafadz Murodif ?






    II.            PEMBAHASAN
A.       Pengertian Mantuq & Pembagian Mantuq
1.   Pengertian Mantuq
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (tersurat). (Ahmad Muhammad asy-syafi’I, 1983:410).[1] Secara istilah mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan. Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (Q.S Al-Isra’ ayat 23).

وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
2.        Pembagian Mantuq
Pada dasarnya mantuq terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a.       Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi, seperti firman Allah SWT : Maka wajib berpuasa tiga hari (Q.S Al-Baqarah ayat 106)
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ                       
   “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
b.  Zahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendakinya kepada penta’wilan. Seperti firman Allah SWT
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu (Q.S Ar-Rahman ayat 27)
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.
Wajah dalam ayat ini diartikan dengan “zat”, karena mustahil bagi tuhan mempunyai wajah seperti manusia.
”dan langit yang kami bangun dengan tangan” (Q.S. Adz-zariyat: 47)
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”.Kalimat tangan ini diartikan dengan “kekuasaan” karena mustahil Allah mempunyai tangan seperti manusia.[2]

B.            Pengertian, syarat, serta macam-macam Mafhum
1.             Pengertian dan Pembagian Mafhum
Mafhum secara bahasa ialah “sesuatu yang dapat dipahami dari suatu teks”, sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mafhum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah)”.Mafhum bisa juga diartikan sesuatu yang ditunjuk oleh lafal,tetapi bukan dari lafal itu sendiri .[3]  Mafhum dibedakan menjadi dua, yaitu :
a.         Mafhum Muwafaqah, yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafal yang disebutkan. Mafhum Muwafaqah dapat dibedakan menjadi :
1.        Fahwal khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya dari pada yang diucapkan. Contoh Ayat Al qur’an yang artinya “jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orangtua.” Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
2.        Lahnal khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan. Contoh : Q.S Annisa:10
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“ Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” Memakan harta anak yatim sama saja dengan  menghilangkan , membakar dsb
b.             Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan.
Contoh :Q.S Al-Jum’ah :9 [4]
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah juabeli”
Dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah. [5]

2.                   Syarat-Syarat Mafhum Mukhalafah
Menurut A. Hanafie dalam bukunya Ushul Fighi, syahnya mafhum mukhafalah ada empat syarat, yaitu :
a.      Mafhum mukhafalah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah.  Contoh : Al isra’:31 dan Al Isara’ :33 saling menguatkan tentang pelarangan membunuh jiwa kecuali dengan suatu alasan.
b.      Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
c.       Yang disebutkan (mantuq), bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.Contoh hadist rosulullah yang artinya “Orang Islam adalah orang yang tidak menggangguorang Islam lainnya,baik dengan lisan maupun dengan tangannya.”Perkataan orang orang Islam tidak di pahamkan bahwa orang yang  bukan Islam boleh diganggu akan tetapi lebih dimaksudkan pada pentingnya hidup rukun dan damai.
d.      Yang disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain. Contoh  Q.S Al Baqoroh:187 yang artinya : “Janganlah kamu campuri mereka(istri istrimu padahal kamu sedang beriktikaf dlalam masjid.” Maksudnya tidak dapat di pahamkan bahwasannya kalau tidak sedang beriktikaf dalam masjid boleh di campuri”[6]
3.                   Macam-Macam Mafhum Mukhalaf
a.      Mafhym shifat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.
b.      Mafhum ‘illat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurtu ‘illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
c.       Mafhum ‘adat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada bilangan yang tertentu.
d.      Mafhum ghayah, yaitu laafal yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini adakalanya dengan “ilaa” dan dengan “hatta”
e.       Mafhum Had, yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ‘adad, diantara adat-adatnya
f.       Mafhum Laqaab, yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fi’il.[7]









C.           Penjelasan dari lafadz Musytarak
               Definisi musytarak
Musytarak ialah suatu lafal yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti tersebut berbeda. Seperti lafal jaun yang artinya putih atau hitam. Apabila arti yang sebenarnya satu dan yang lain arti majaz, maka tidak dikatakan musytarak.[8]

               Sebab-sebab timbulnya lafal musytarak
a.    Bermacam-macam suku bangsa Arab yag terdiri dari dua golongan yaitu golonan Adnan dan golongan Qathan. Masing-masing golongan terdiri dari suku yang bermacam-macam dan dusun yang terpencar yang berbeda tempat lingkunannya. Kadang suatu suku membuat nama untuk suatu pengertian. Kemudian suku lainnyan menggunakan nama tersebut untuk suatu pengertian lainnaya yang tidak dimaksud oleh suku pertama. Tatkala bahasa Arab diambil orang lain dan dibukukan kedua pengeertian itu diambil begitu saja tanpa memperhatikan hubungan dengan suku yang membuatnya.
b.    Antara kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama. Karena suatu lafal bisa digunakan untuk pengertian tersebut. Inilah yang disebut isytarik ma’nawi (persekutuan batin). Terkadang orang melupakan arti yang dapat mengumpulkan kedua pengertian tersebut.
c.    Semula lafal digunakan untuk suatu arti, kemudian berpindah kepada arti yang lain dengan jalan majaz, karena adanya ‘alaqah (hubungnnya) . Alaqah ini dilupakan dan kemudian hilang maka disangka kata tersebut digunakan untuk kedua arti yang sebenarnya (haqiqi) tanpa mengetahui adanya alaqah.[9]
4.             Hukum lafal musytarak
Lafal musytarak tidak dapat menunjukan salah satu artinya yang tertentu (dari arti lafal musytarak) selama tidak dapat menunjukan salah satu artinya yang tertentu(dari arti lafal musytarak) selama tidak ada hal-hal (qarinah) yang menjelaskannya. Apabila ada lafal musytarak tanpa penjelasan, padahal yang dikehendaki oleh salah satu artinya maka dengn sendirinya lafal musytarak tersenut ditinggalkan. Sebab tidak mungkin kita beramal sesuai dengan petunjuknya(lafal musytarak) selama kita tidak mengetahui maksud sebenarnya.[10]

D.       Pengertian dan hukum dari lafadz Murodif
                    Pengertian Muradif
 Muradif ialah lafal yang banyak tetapi artinya sama (synonym). Kadang-kadang ada beberapa lafal yang berbeda namun hanya mempunyai satu arti seperti lafal asad dan al llaits (artinya singa), hintah dan qamhum (artinya gandum). Lafal yang seperti ini dinamakan lafal muradif. Mengenai lafal muradif tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama’ bahwa lafal yang satu dapat menempati tempat lafal yang lain selama tidak berubah makna dan arti selama tidak ada larangan syara’ untuk mempergunakannya.[11]
                   Hukum Lafal Muradif
  Meletakkan lafal muradif ditempat lafal lainnya diperbolehkan apabila tidak ada larangan dari syara’. Pendapat lain mengatakan : Meletakkan lafal muradif diperbolehkan asal masih satu bahasa. Tentang lafal-lafal qur’an tidak ada perbedaan pendapat lagi, bahwa kita disuruh membaca lafal-lafal itu sendiri. Lagi pula lafal-lafal qur’an itu adalah mukjizat murni dari Allah yang tidak dapat dirubah dan tidak  terdapat pada lafal-lafal lainnya. Perbedaan pendapat tersebut hanya mengenai lafal-lafal selain qur’an yaitu zikir-zikir dalam sholat dan lafal-lafal lainnya. Imam Malik mengatakan bahwa tidak boleh membaca takbir, kecuali dengan lafal Allahu Akbar. Demikian pula pendapat Imam Syafi’i. Akan tetapi  Imam Hanafi justru membolehkan takbir dengan lafal yang sama artinya dengan Allahu Akbar, seperti  Allah Al A’dzam atau Allah Al A’la atau Allah Al Ajjal. Maka penyebab perbedaan pendapat ini ialah, apakah kita beribadah dengan lafalnya ataukah dengan maknanya.[12]


 III.            PENUTUP & KESIMPULAN
A.       KESIMPULAN
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat), sedang Mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat).mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:1. Nash  2. Zahir
Pembagian Mafhum:1. Mafhum muwafaqah  2. Mafhum mukhalafah
Musytarak ialah suatu lafal yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti tersebut berbeda. Seperti lafal jaun yang artinya putih atau hitam. Muradif ialah lafal yang banyak tetapi artinya sama (synonym). Kadang-kadang ada beberapa lafal yang berbeda namun hanya mempunyai satu arti seperti lafal asad dan al llaits (artinya singa),
B.       PENUTUP
           Demikian makalah ini yang dapat kami paparkan mengenai kaidah-kaidah ushul fiqih ”Mantuq, Mafhum, Musytarak, Murodif”. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan kami dan kurangnya rujukan atau referensi. Penulis berharap pembaca budiman dapat memberikan kritik dan saran yang konstruktif kepada pemakalah demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca budiman. Amin.










DAFTAR PUSTAKA

 Effendi,Satria. Ushul Fiqih,  Jakarta : Kencana , 2005.
 Hanafi ,Ahmad. Ushul Fiqih, Jakarta: Widjaya, 1959.
 Karim,Syafi’I. Fiqih Ushul Fiqh,  Bandung :Pustaka Setia, 1997.
 Mu’in,Ahmad. Asymuni,.Rahman,Ahmad dkk ,Ushul Fiqih II Jakarta: DepAg, 1986.
 Saebani, Ahamd. Beni dkk , Fiqih Ushul Fiqih, Bandung ,Pustaka Setia , 2008.
 Usman, Mukhlis. Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah, Jakarta:PT Raja Grafindo,1996.


[1] Mukhlis Usman,Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah,(Jakarta:PT Raja Grafindo,1996).,hal.67.  Lihat juga di  Syafi’I Karim ,Fiqih Ushul Fiqih,(Bandung :Pustaka Setia 1997).,hlm. 177.,
[2] Mukhlis Usman,Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah,(Jakarta:PT Raja Grafindo,1996).,hlm, 68. Lihat juga  Syafi’I Karim ,Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung :Pustaka Setia 1997).,hlm. 178.
[3] Satria Effendi, Ushul Fiqih (Jakarta : Kencana 2005)., hlm 214. Lihat juga di Syafi’I Karim ,Fiqih Ushul Fiqih(Bandung :Pustaka Setia 1997).,hlm. 178.
[4] Syafi’I Karim ,Fiqih Ushul Fiqih (Bandung :Pustaka Setia 1997).,hlm 180.
[5] Satria Effendi, Ushul Fiqih (Jakarta : Kencana 2005).,hlm 180.
[6] Satria Effendi, Ushul Fiqih  hlm.,183
[7] Satria Effendi, Ushul Fiqih ,hlm.,183-186.
[8] Beni Ahmad Saebeni, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia 2008).,hlm 285.
[9] Syafi’I Karim ,Fiqih Ushul Fiqih(Bandung :Pustaka Setia 1997).,hlm.196-197.
[10] Beni Ahmad Saebeni, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia 2008).,hlm 197.
[11] A.Hanafi, Ushul Fiqih,(Jakarta: Widjaya) 1959, hal, 87.  Lihat juga di Beni Ahmad Saebeni, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia 2008).,hlm 285. Lihat juga  di Syafi’I Karim ,Fiqih Ushul Fiqih(Bandung :Pustaka Setia 1997).,hlm.,195
[12] A.Hanafi, Ushul Fiqih,(Jakarta: Widjaya) 1959, hal,88.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar