KAIDAH KAIDAH USHUL
FIQIH
MANTUQ MAFHUM MUSYTARAK
MURODIF
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam dan
kaidah-kaidah Ushul Fiqih tantangan lebih serius, terutama pada abad kemajuan
ilmu pengetahuan teknologi. Maka dari itu untuk menjawab berbagai permasalahan
yang kompleks dalam konteks hukum Islam, para ahli sudah tidak bisa lagi hanya
mengandalkan ilmu tentang fikih dan hasil ijtihad dimasa lampau. Hal ini di
sebabkan warisan fikih yang terdapat dalam buku-buku klasik terbatas kemampuannya
dalam menjangkau masalah-masalah baru yang belum ada sebelumnya.
Oleh karena itu
umat Islam perlunya mengadakan penyegaran kembali terhadap warisan ilmu fikih
dengan banyak mengkaji serta
mengimplementasikan ilmu ushul fiqih beserta kaidah-kaidahnya. Karena dalam menafsirkan
Al-Qur’an, kita harus mengetahui kaedah-kaedahnya. Apalagi untuk menetapkan suatu
hukum. Dalam ilmu ushul fiqh, pemaknaan lafal Al-Qur’an yang digunakan untuk
menentukan suatu hukum.
ushul fiqih diataranya : Mantuq ,Mafhum ,Mutlaq ,Muqoyyad yang akan di bahas dalam makalah ini.
ushul fiqih diataranya : Mantuq ,Mafhum ,Mutlaq ,Muqoyyad yang akan di bahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Maslah
1.
Apa pengertian
dan pembagian Mantuq ?
2.
Apa
pengertian, syarat, serta macam-macam Mafhum?
3.
Apakah pengertian dan hukum dari lafadz Mustarok ?
4.
Bagaimanakah
penjelasan dari lafadz Murodif ?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mantuq & Pembagian Mantuq
1.
Pengertian Mantuq
Mantuq
adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (tersurat). (Ahmad
Muhammad asy-syafi’I, 1983:410).[1]
Secara istilah mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat
pembicaraan. Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (Q.S
Al-Isra’ ayat 23).
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا
تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia”.
2.
Pembagian Mantuq
Pada
dasarnya mantuq terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Nash, yaitu suatu perkataan yang
jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi, seperti firman Allah SWT : Maka wajib berpuasa tiga hari (Q.S
Al-Baqarah ayat 106)
مَا
نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ
تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
b. Zahir, yaitu suatu perkataan yang
menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendakinya
kepada penta’wilan. Seperti firman Allah SWT
Dan tetap
kekal Dzat Tuhanmu
(Q.S Ar-Rahman ayat 27)
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ
وَالإكْرَامِ
“Dan tetap
kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.
Wajah dalam ayat ini diartikan
dengan “zat”, karena mustahil bagi tuhan mempunyai wajah seperti
manusia.
”dan
langit yang kami bangun dengan tangan” (Q.S. Adz-zariyat: 47)
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ
وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit itu Kami bangun
dengan kekuasaan dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”.Kalimat tangan
ini diartikan dengan “kekuasaan” karena mustahil Allah mempunyai tangan
seperti manusia.[2]
B.
Pengertian, syarat, serta macam-macam Mafhum
1.
Pengertian
dan Pembagian Mafhum
Mafhum
secara bahasa ialah “sesuatu yang dapat dipahami dari suatu teks”, sedangkan
menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mafhum
muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum
mukhalafah)”.Mafhum bisa juga diartikan sesuatu yang ditunjuk oleh
lafal,tetapi bukan dari lafal itu sendiri .[3] Mafhum dibedakan menjadi dua, yaitu :
a.
Mafhum Muwafaqah,
yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafal yang disebutkan.
Mafhum Muwafaqah dapat dibedakan menjadi :
1.
Fahwal khitab,
yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya dari pada yang diucapkan. Contoh
Ayat Al qur’an yang artinya “jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada
kedua orangtua.” Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
2.
Lahnal khitab,
yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan. Contoh
: Q.S Annisa:10
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ
فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“ Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Memakan harta anak yatim sama saja dengan
menghilangkan , membakar dsb
b.
Mafhum
Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda
daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi
(meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada
bunyi lafal yang diucapkan.
Contoh :Q.S Al-Jum’ah :9 [4]
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
”Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah juabeli”
Dari
ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan
dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini
dinamakan juga mafhum mukhalafah. [5]
2.
Syarat-Syarat Mafhum
Mukhalafah
Menurut A.
Hanafie dalam bukunya Ushul Fighi, syahnya mafhum mukhafalah ada empat
syarat, yaitu :
a.
Mafhum
mukhafalah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat,
baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh : Al isra’:31 dan Al Isara’ :33 saling
menguatkan tentang pelarangan membunuh jiwa kecuali dengan suatu alasan.
b.
Yang disebutkan
(mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
c.
Yang disebutkan
(mantuq), bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.Contoh
hadist rosulullah yang artinya “Orang Islam adalah orang yang tidak
menggangguorang Islam lainnya,baik dengan lisan maupun dengan tangannya.”Perkataan
orang orang Islam tidak di pahamkan bahwa orang yang bukan Islam boleh diganggu akan tetapi lebih
dimaksudkan pada pentingnya hidup rukun dan damai.
d.
Yang disebutkan
(mantuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain. Contoh Q.S Al Baqoroh:187 yang artinya : “Janganlah
kamu campuri mereka(istri istrimu padahal kamu sedang beriktikaf dlalam
masjid.” Maksudnya tidak dapat di pahamkan bahwasannya kalau tidak sedang
beriktikaf dalam masjid boleh di campuri”[6]
3.
Macam-Macam Mafhum
Mukhalaf
a.
Mafhym shifat,
yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.
b.
Mafhum ‘illat,
yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurtu ‘illatnya. Mengharamkan minuman keras
karena memabukkan.
c.
Mafhum ‘adat,
yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada bilangan yang tertentu.
d.
Mafhum ghayah,
yaitu laafal yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan),
hingga lafal ghayah ini adakalanya dengan “ilaa” dan dengan “hatta”
e.
Mafhum Had,
yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ‘adad, diantara adat-adatnya
f.
Mafhum Laqaab,
yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fi’il.[7]
C.
Penjelasan
dari lafadz Musytarak
Definisi
musytarak
Musytarak
ialah suatu lafal yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti
tersebut berbeda. Seperti lafal jaun yang artinya putih
atau hitam. Apabila arti yang sebenarnya satu dan yang lain arti majaz, maka
tidak dikatakan musytarak.[8]
Sebab-sebab
timbulnya lafal musytarak
a.
Bermacam-macam
suku bangsa Arab yag terdiri dari dua golongan yaitu golonan Adnan dan golongan
Qathan. Masing-masing golongan terdiri dari suku yang bermacam-macam dan dusun
yang terpencar yang berbeda tempat lingkunannya. Kadang suatu suku membuat nama
untuk suatu pengertian. Kemudian suku lainnyan menggunakan nama tersebut untuk
suatu pengertian lainnaya yang tidak dimaksud oleh suku pertama. Tatkala bahasa
Arab diambil orang lain dan dibukukan kedua pengeertian itu diambil begitu saja
tanpa memperhatikan hubungan dengan suku yang membuatnya.
b.
Antara kedua pengertian terdapat arti dasar
yang sama. Karena suatu lafal bisa digunakan untuk pengertian tersebut. Inilah
yang disebut isytarik ma’nawi (persekutuan batin). Terkadang orang
melupakan arti yang dapat mengumpulkan kedua pengertian tersebut.
c.
Semula lafal
digunakan untuk suatu arti, kemudian berpindah kepada arti yang lain dengan
jalan majaz, karena adanya ‘alaqah (hubungnnya) . Alaqah ini dilupakan dan
kemudian hilang maka disangka kata tersebut digunakan untuk kedua arti yang
sebenarnya (haqiqi) tanpa mengetahui adanya alaqah.[9]
4.
Hukum lafal
musytarak
Lafal
musytarak tidak dapat menunjukan salah satu artinya yang tertentu (dari arti
lafal musytarak) selama tidak dapat menunjukan salah satu artinya yang
tertentu(dari arti lafal musytarak) selama tidak ada hal-hal (qarinah)
yang menjelaskannya. Apabila ada lafal musytarak tanpa penjelasan, padahal yang
dikehendaki oleh salah satu artinya maka dengn sendirinya lafal musytarak
tersenut ditinggalkan. Sebab tidak mungkin kita beramal sesuai dengan
petunjuknya(lafal musytarak) selama kita tidak mengetahui maksud sebenarnya.[10]
D.
Pengertian dan
hukum dari lafadz Murodif
Pengertian Muradif
Muradif
ialah lafal yang banyak tetapi artinya sama (synonym). Kadang-kadang ada
beberapa lafal yang berbeda namun hanya mempunyai satu arti seperti lafal asad
dan al llaits (artinya singa), hintah dan qamhum (artinya
gandum). Lafal yang seperti ini dinamakan lafal muradif. Mengenai lafal muradif
tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama’ bahwa lafal yang satu dapat
menempati tempat lafal yang lain selama tidak berubah makna dan arti
selama tidak ada larangan syara’ untuk mempergunakannya.[11]
Hukum Lafal
Muradif
Meletakkan lafal muradif ditempat
lafal lainnya diperbolehkan apabila tidak ada larangan dari syara’. Pendapat
lain mengatakan : Meletakkan lafal muradif diperbolehkan asal masih satu
bahasa. Tentang lafal-lafal qur’an tidak ada perbedaan pendapat lagi, bahwa
kita disuruh membaca lafal-lafal itu sendiri. Lagi pula lafal-lafal qur’an itu
adalah mukjizat murni dari Allah yang tidak dapat dirubah dan tidak terdapat pada lafal-lafal lainnya. Perbedaan
pendapat tersebut hanya mengenai lafal-lafal selain qur’an yaitu zikir-zikir
dalam sholat dan lafal-lafal lainnya. Imam Malik mengatakan bahwa tidak boleh
membaca takbir, kecuali dengan lafal Allahu Akbar. Demikian pula pendapat Imam
Syafi’i. Akan tetapi Imam Hanafi justru
membolehkan takbir dengan lafal yang sama artinya dengan Allahu Akbar,
seperti Allah Al A’dzam atau Allah Al
A’la atau Allah Al Ajjal. Maka penyebab perbedaan pendapat ini ialah, apakah
kita beribadah dengan lafalnya ataukah dengan maknanya.[12]
III.
PENUTUP & KESIMPULAN
A.
KESIMPULAN
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat
apa yang diucapkan (makna tersurat), sedang Mafhum adalah lafal yang
hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat).mantuq
ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:1. Nash
2. Zahir
Pembagian Mafhum:1. Mafhum muwafaqah 2. Mafhum mukhalafah
Pembagian Mafhum:1. Mafhum muwafaqah 2. Mafhum mukhalafah
Musytarak ialah suatu
lafal yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti tersebut
berbeda. Seperti lafal jaun yang artinya putih atau hitam. Muradif ialah lafal yang banyak tetapi artinya sama (synonym).
Kadang-kadang ada beberapa lafal yang berbeda namun hanya mempunyai satu arti
seperti lafal asad dan al llaits (artinya singa),
B.
PENUTUP
Demikian makalah ini yang dapat kami
paparkan mengenai kaidah-kaidah ushul fiqih ”Mantuq, Mafhum, Musytarak,
Murodif”. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya
pengetahuan kami dan kurangnya rujukan atau referensi. Penulis berharap pembaca
budiman dapat memberikan kritik dan saran yang konstruktif kepada pemakalah
demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan
pembaca budiman. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi,Satria. Ushul
Fiqih, Jakarta : Kencana , 2005.
Hanafi ,Ahmad. Ushul
Fiqih, Jakarta: Widjaya, 1959.
Karim,Syafi’I. Fiqih
Ushul Fiqh, Bandung :Pustaka Setia,
1997.
Mu’in,Ahmad.
Asymuni,.Rahman,Ahmad dkk ,Ushul Fiqih II Jakarta: DepAg, 1986.
Saebani, Ahamd. Beni dkk ,
Fiqih Ushul Fiqih, Bandung ,Pustaka Setia , 2008.
Usman, Mukhlis. Kaidah-kaidah
ushuliyah dan fiqhiyah, Jakarta:PT Raja Grafindo,1996.
[1] Mukhlis Usman,Kaidah-kaidah ushuliyah dan
fiqhiyah,(Jakarta:PT Raja Grafindo,1996).,hal.67. Lihat juga di Syafi’I Karim ,Fiqih Ushul Fiqih,(Bandung
:Pustaka Setia 1997).,hlm. 177.,
[2] Mukhlis Usman,Kaidah-kaidah
ushuliyah dan fiqhiyah,(Jakarta:PT Raja Grafindo,1996).,hlm, 68. Lihat
juga Syafi’I Karim ,Fiqih Ushul
Fiqih, (Bandung :Pustaka Setia 1997).,hlm. 178.
[3] Satria Effendi, Ushul
Fiqih (Jakarta : Kencana 2005)., hlm 214. Lihat juga di Syafi’I Karim ,Fiqih
Ushul Fiqih(Bandung :Pustaka Setia 1997).,hlm. 178.
[4] Syafi’I Karim ,Fiqih
Ushul Fiqih (Bandung :Pustaka Setia 1997).,hlm 180.
[5] Satria Effendi, Ushul
Fiqih (Jakarta : Kencana 2005).,hlm 180.
[6] Satria Effendi, Ushul
Fiqih hlm.,183
[7] Satria Effendi, Ushul
Fiqih ,hlm.,183-186.
[8] Beni Ahmad Saebeni, Fiqih
Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia 2008).,hlm 285.
[9] Syafi’I Karim ,Fiqih
Ushul Fiqih(Bandung :Pustaka Setia 1997).,hlm.196-197.
[10] Beni Ahmad Saebeni, Fiqih
Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia 2008).,hlm 197.
[11] A.Hanafi, Ushul Fiqih,(Jakarta: Widjaya) 1959,
hal, 87. Lihat juga di Beni Ahmad
Saebeni, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia 2008).,hlm 285.
Lihat juga di Syafi’I Karim ,Fiqih
Ushul Fiqih(Bandung :Pustaka Setia 1997).,hlm.,195
[12] A.Hanafi, Ushul Fiqih,(Jakarta:
Widjaya) 1959, hal,88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar