BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadits berfungsi sebagai
penjelas Al Qur’an yang diyakini oleh mayoritas umat Islam. Interpretasi
terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan Nabi.
Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala sesuatu, terkadang menjadi hukum
tersendiri yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an.
sedemikian pentingnya
keberadaan hadits nabi itu, banyak musuh-musuh Islam berupaya meruntuhkan
ajaran Islam dengan cara mengkaji dan meneliti hadits dengan satu tujuan untuk
meragukan dasar-dasar validitas hadits sebagai dasar argumentasi. Dengan
diragukannya hadits-hadits yang ada dalam kitab-kitab hadits karya ulama masa
lalu, maka robohlah sudah satu pilar agama Islam . Sehingga umat Islam tidak
memiliki kesatuan atau keseragaman dalam memahami al-qur’an dan lebih jauh
dalam mengaplikasikan ajaran-ajaran syari’at Islam tentunya. Inilah tujuan
utama kegiatan orientalis dalam mengkaji hadits.
Yusuf Qardlawiy telah
menengarai kelompok musuh-musuh Islam terdiri dari para missionaris dan
orientalis dan sebagian lagi murid-murid termasuk orang-orang yang terpesona
dengan “metode ilmiah” yang mereka peragakan itu. Di antara sekian banyak
orientalis yang mengkaji, ada 3 nama besar yang berpengaruh dalam kegiatan
penelitian hadis. Mereka itu adalah Goldziher , Schahct dan jyunboll. Berikut
ini akan dibahas pola pemikiran mereka terhadap kesahihan hadits Nabi Muhammad
SAW.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pemikiran dan
kritik oleh tokoh orientalis terhadap hadist?
2.
Bagaimana bantahan Ulama’
muslim terhadap pemikiran orientalis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran dan Kritik oleh Tokoh
Orientalis terhadap Hadits
Kata “orientalis” berasal
dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari
kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Secara
geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara
etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan dalam kamus
ilmiah populer ”orientalis” adalah ahli Barat yang mempelajari
Timur.
Dilihat dari segi
terminologinya, Ismail Ya’kub menyatakan bahwa orientalis adalah orang
yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai
negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada
khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan
lain-lain.
Jadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa orientalis adalah
segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan
kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia
Timur, sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya. Berikut ini akan dibahas
pola pemikiran beberapa pembesar orientalis terhadap kesahihan hadits Nabi
Muhammad SAW.
1. Ignaz Goldziher
Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadist dengan dilengkapi
studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits menurut Goldziher tidak lebih
sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan
sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk
meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi
Sahabat Rasul.
Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas
hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa tabi’in. Hadis tidak lain
adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada
fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan
keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan
dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut
Goldziher al-Zuhri mengatakan:
(Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik)
telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis”) Kata-kata “ahadis” dalam
kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu
yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang aslli seperti
terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti
hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hdis yang berasal
dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat
itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sudah
ada , akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku. sementara pengertian ucapannya
dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis
hadis yang belum pernah ada pada saat itu.
Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh
ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan
metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik
sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian
menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadis
itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dan
lain-lain. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat
kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan
telah disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadis
yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid,
Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul
Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila
Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh
orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di
Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha
agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi
ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam
kekuasaan wilayah Syam.
Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin
Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis dengan sanad yang bersambung ke
Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga
masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya
hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al-Zuhri dan
bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih
al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat Islam, bahkan diakui
sebagai kitab yang paling otentik sesudah al- qur’an. Dari sini rasanya tidak
tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk
meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah terbina kokoh
sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.
secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadis
banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher.
Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis,
Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu.
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin
valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai
periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw. dan para sahabat
adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam enam poin:
1. Sistem
isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama.
2. Isnad-isnad
itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin
“memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber
klasik.
3. Isnad-isnad
secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak
lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4. Sumber-sumber
tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk menjawab penolakan-penolakan yang
dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber.
“isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan
di dalam isnad-isnad itu.
5. Keberadaan comman
narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits
itu berasal dari masa periwayat itu.
Dalam rangka
membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini:
1. Teori Projecting Back
Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis
bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam
dengan apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis pada masa al Sya’bi
(110 H). Oleh karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum
islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al Sya’bi. Hukum islam baru
eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim.
2. Teori E Silentio
Sebuah teori yang disusun
berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana ulama/perawi) pada waktu
tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya/
jika satu hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang kemudian yang mana para
sarjana sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut
tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan pertama kali tanpa sanad yang
komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga
dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis/ tidak cukup
dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil
dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu
akan dijadikan sebagai refrensi.
3. Teori Common Link
Yakni sebuah teori yang
beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang terdapat tambahan
tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang
terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad
keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat
sebuah hadis kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar famili adalah
isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi
dengan perawi lainnya.
Paling tidak ada tiga tesis besar seperti uraian diatas yang diajukan
Schacht yang menarik perhatian para sarjana, diantaranya tesis tentang hadits
Nabi dilihat dari materinya, atau tentang otentisitas sanad hadits yang
terakumulasi dalam teori Projecting back, yang berkaitan juga
dengan lahirnya hukum Islam. Pikiran-pikiran tersebut, kalau kita lihat secara
keseluruhan, ternyata saling berkaitan, hanya saja karena dia seorang ahli
hukum, pembahasan otentisitas hadits di bawah ini nampaknya tidak dapat
dihindari dari pembahasan lainnya tentang hukum.[23]
3. Jyunboll
Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak
lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the
Origin of Muhammadans Yurisprudence. Menurut muhadisin, isnad baru
dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan
khalifah ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada
karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi
peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya
berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu. Seperti hadis “man kadzaba...…”
Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang disandarkan pada Abu
hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun pada saat-saat tertentu setelah Abu
hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat Abu hanifah adalah merupakan
tokoh yang sering mengenyampingkan hadis.
Oleh karena itu jika ada koleksi hadis yang menggunakan namanya, maka hal
tersebut harus dipandang sebagai hasil dari suatu usaha dari para pendukung
mazhab Hanafi untuk mengkompromikan perbedaan antara madrasah ahl al-ra’y
dengan madrasah ahl al-hadits.
Jyunboll mendukung teori E-silentionya Schacht sembari menambahkan bahwa
kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi hadisnya berbeda atau tidak menemukan
hadis yang dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadis itu
terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu.
Demikian juga dengan teori Common Linknya Schacht dia menyebutnya
sebagai teori yang brilliant sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan
bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran riel
bagi ahl al-hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhadisin tidak
pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk
menyelidiki kepalsuan suatu hadis.
Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang
mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu
mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari
mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata
lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang
meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas
isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common
link-nya.
Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa semakin banyak jalur
periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat hadits), semakin besar
pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim kesejarahan, shahih. Artinya,
jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara autentik adalah jalur periwayatan
yang bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara yang bercabang hanya satu
jalur (single strand), tidak dapat dipercaya secara mutlak kebenarannya dha’if.
B. Bantahan Ulama’ Muslim terhadap
pemikiran Orientalis
1. Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul
pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh beberapa pakar hadits.
Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa
Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan
Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut
ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun
kebenaran materi sejarahnya.
Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka pada bukti-bukti sejarah.
Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup
valid tentang keberadaan pencatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam
bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and
Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa
direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua,
masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah
dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah
periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh.
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang
tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan
dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah
memasukkan hadis-hadis ritual.
Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi
ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa
al-Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn
Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri
semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7
tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun
sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang
kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya.
Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis
itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut
tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat
dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan
kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan
qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis
tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik
matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi
sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif
telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga
bertumpu pada matan.
2. Bantahan untuk Josep Schacht
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang
dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan
Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan
kitab-kitab fiqh sebagai dasar asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’
Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa
dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi.
Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh
karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada
kitab-kitab hadis.
Ja’far Ishaq Anshari dan Azami dalam sanggahannya, Keduanya berkesimpulan
bahwa Schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya
schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal dari 2
generasi di belakang syafi’i, kenyataannya schacht justru menggunakan
muwatha’nya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah
referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz
Goldziher sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum
mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang
fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat
dan tabi’in.
Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta
e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’karya
Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan
asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam
koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis
belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya
Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya
asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang
terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsarasy-Syaibani,
walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu
Yusuf.
Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak mampu
mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga
menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan adanya faktor-faktor
lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli hukum
merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa mencantumkan
hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah
untuk menghimpun hadis, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin aliran
fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum serta diikuti oleh para
pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadis utuk
mendukung berbagai doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting. Akibatnya,
merka tidak selalu menyebutkan hadis-hadis yang relevan dengan doktrin-doktrin
hukum yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadis-hadis tersebut ada.
Di samping itu Azami
membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada
masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya
menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam
karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik
hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada
hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak
bersambung ke Nabi.
Kemudian untuk membantah
teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang
meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga
melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan
penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah
klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu
Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail
ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada
generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk
jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah
perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar
dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Dengan demikian apa yang
dikembangkan oleh Schacht dengan teorinyaProjecting Back, yang mengemukakan
bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian
pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan
keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad
Hadis itu memang muttashil sampai kepada rasulullah Saw.
melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa
Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu,
tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul SAW sebagai
seorang Nabi dan panutan umat Islam.
3.
Bantahan untuk Jyunboll
Tokoh ketiga yang tak
luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common
link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common
link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan
validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metodecommon
link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang
ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat
satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an
dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai
seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya
periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan
implikasinya. Akan tetapi, itu semua
bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.
Pada tempat lain, Azami
menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad
maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common
link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial.
Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common linksebenarnya
hanya seeming atau artificial common link. Ini
disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa
menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kajian orientalis tidaklah
harus ditanggapi dengan emosi yang menghilangkan nilai ilmiah bagi sebuah
penelitian. Bahkan secara eksplisit karena merekalah saat ini umat muslim
mencoba bangkit dan berani mengkoreksi nash-nash yang telah dianggap sakral dan
tidak bisa tersentuh dari kritik. Pengkoreksian ini bukanlah berarti menggap
bahwa tesis yang dihasilkan para orientalis ini merupakan sebuah hasil yang
harus diterima secara mentah-mentah, namun harus juga ditanggapi denga
objektif, data yang valid serta metodologi yang juga bisa diterima oleh
kalangan akademis.
Sehingga sebenarnya para
sarjana muslim sendiri bersikap berbeda dalam memandang kegiatan para
orientalis. Diantaranya ada yang memandang sebagai murni kajian keilmuan namun
disisi lain lebih banyak yang menganggap sebagai sebuah propaganda melawan
Islam. Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya
dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu: 1)
Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia
Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient). 2) Bahwa Orientalisme
itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam.
3) Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes
(kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.
Namun harus diakui bahwa
selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis
banyak yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup dirasakan
manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-kamus,
encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu
bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula
bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam perlu bersikap kritis dan
profesional dalam mengkaji dan menanggapi karya-karya orientalis itu.
B. Penutup
Demikian makalah ini kami
susun, kritik dan saran yang membangun kami butuhkan untuk karya tulis yang
lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA