Selamat Datang di Blog Wanita Sosial(ita), Semoga Bermanfaat

Senin, 08 Desember 2014

EKSISTENSI MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM ORGANISASI




Keterlibatan manajemen sumber daya manusia dalam organisasi sangat bermanfaat dalam membawa organisasi ke arah yang kebih optimal dalam rangka pencapaian tujuan yang ditetapkan.
A.      Kegiatan dan Tanggung Jawab Manajemen Sumber Daya Manusia
Aktivitas utama MSDM adalah mendapatkan, mengelola, dan pemutusan sumber daya manusia.
1.      Mendapatkan Sumber Daya Manusia
Menentukan persyaratan organisasi terkait dengan sumber daya manusia yang ingin diperoleh dengan memperhatikan kuantitas, tipe, dan kualitasnya. Aktivitas ini meliputi empat langkah, yaitu:
a.       Memberikan saran tentang bentuk struktuk organisasi yang diperlukan untuk melaksanaan strategi.
b.      Merencanakan tentang jumlah, tingkat, dan tipe pekerjaan yang diperlukan organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif.
c.       Merancang pekerjaan yang dijabarkan dalam tugas dan kewajiban.
d.      Mengelola atau memberikan saran dalam proses seleksi.
2.      Mengelola Sumber Daya Manusia
Memastikan bahwa tenaga kerja tersebut akan tinggal cukup lama di dalam organisasi, sehingga efektif dan dapat menunjukkan kinerja yang bagus selama mereka disana. Hal itu mencakup:
a.       Merancang manajemen kinerja yang akan membantu pegawai.
b.      Merancang dan melaksanakan program-program pelatihan.
c.       Merancang dan melaksanakan program-program pengembangan.
d.      Menetapkan strategi perubahan yang dapat menunjang tujuan organisasi dan rencana bisnis.
e.       Merancang dan menentukan K3.
3.      Pemutusan Sumber Daya Manusia
Pemutusan hubungan kerja di mana pegawai harus melepaskan diri dari organisasi atau organisasi ini disebabkan karena pensiun, mengundurkan diri, selesai kontrak, berakhirnya kontrak pelatihan, pemecatan, redundansi, dan sebagainya. Aktivitas dalam hal ini adalah:
a.       Melaksanakan atau menyarankan agar diadakan wawancara PHK
b.      Memberikan alternatif pemecahan masalah serta memberikan konsultasi dan komunikasi
c.       Memberikan petunjuk bagaimana penerapan serta bagaimana memberi pesangon bila terjadi PHK
d.      Memberi petunjuk agar tepat sasaran.
e.       Menyelenggarakan kursus pra-pensiun
f.       Menasihati manajer agar dapat mengambil tindakan yang tepat bila terjadi protes tentang PHK
Manajemen sumber daya manusia mempunyai tanggung jawab untuk memberdayakan sumber daya manusia dalam organisasi, mengelola unsur manusia secara baik agar diperoleh tenaga kerja yang qualified dan puas terhadap pekerjaannya demi pencapaian tujuan organisasi.
B.       Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Organisasi
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) merupakan suatu usaha mencapai tujuan organisasi dengan mengelola dan mendaya gunakan segala sumber manusia yang berada dalam suatu organisasi. Organisasi adalah sekumpulan orang yang di dalamnya melakukan kerja sama melalui pola hubungan yang bersifat sekunder sehingga tidak terikat oleh kaitan emosional dan dipengaruhi oleh lingkungan dalam mencapai tujuan. Pelaksana atau yang menjalankan organisasi adalah manusia. Karena itu menusia dalam organisasi merupakan titik sentral dan harus dikelola dengan baik. Untuk itu diperlukan manajemen khususnya untuk kepentingan pengelolaan dan pendaya gunaan manusia.
C.       Manfaat Manajemen Sumber Daya Manusia
Manfaat dari manajemen sumber daya manusia adalah terciptanya suatu kondisi SDM (pegawai atau tenaga kerja) yang memenuhi kebutuhan organisasi, yang bermotivasi dan berkinerja tinggi dilengkapi dengan sarana untuk menghadapi perubahan, serta menggunakan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada pencapaian tujuan organisasi.
D.      Tantangan Manajemen Sumber Daya Manusia
Tantangan yang dihadapi oleh manajemen sumber daya manusia di masa depan adalah bagaimana menciptakan suatu organisasi sekaligus dituntut pengelolaan yang semakin efisien, efektif dan produktif. Kebijaksanaan apapun yang dirumuskan dan ditetapkan di bidang sumber daya manusia dan langkah-langkah apapun yang diambil dalam manajemen sumber daya manusia itu kesemuanya harus berkaitan dengan pencapaian berbagai tujuan yang telah ditetapkan untuk dicapai.
Pada dasarnya, berbagai pencapaian tersebut dapat dikategorikan pada empat jenis, yaitu: tujuan masyarakat sebagai keseluruhan, tujuan organisasi yang bersangkutan, tujuan fungsional, dalam arti tujuan manajemen sumber daya manusia dalam organisasi, dan tujuan pribadi para anggota.



KRITIK ORIENTALIS TERHADAP HADITS




 
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Hadits berfungsi sebagai penjelas Al Qur’an yang diyakini oleh mayoritas umat Islam. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an.
sedemikian pentingnya keberadaan hadits nabi itu, banyak musuh-musuh Islam berupaya meruntuhkan ajaran Islam dengan cara mengkaji dan meneliti hadits dengan satu tujuan untuk meragukan dasar-dasar validitas hadits sebagai dasar argumentasi. Dengan diragukannya hadits-hadits yang ada dalam kitab-kitab hadits karya ulama masa lalu, maka robohlah sudah satu pilar agama Islam . Sehingga umat Islam tidak memiliki kesatuan atau keseragaman dalam memahami al-qur’an dan lebih jauh dalam mengaplikasikan ajaran-ajaran syari’at Islam tentunya. Inilah tujuan utama kegiatan orientalis dalam mengkaji hadits.
Yusuf Qardlawiy telah menengarai kelompok musuh-musuh Islam terdiri dari para missionaris dan orientalis dan sebagian lagi murid-murid termasuk orang-orang yang terpesona dengan “metode ilmiah” yang mereka peragakan itu. Di antara sekian banyak orientalis yang mengkaji, ada 3 nama besar yang berpengaruh dalam kegiatan penelitian hadis. Mereka itu adalah Goldziher , Schahct dan jyunboll. Berikut ini akan dibahas pola pemikiran mereka terhadap kesahihan hadits Nabi Muhammad SAW.

B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana pemikiran dan kritik oleh tokoh orientalis terhadap hadist?
2.         Bagaimana bantahan Ulama’ muslim terhadap pemikiran orientalis?



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pemikiran dan Kritik oleh Tokoh Orientalis terhadap Hadits
Kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan dalam kamus ilmiah populer ”orientalis” adalah ahli Barat yang mempelajari Timur.[1]
Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain.
Jadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya. Berikut ini akan dibahas pola pemikiran beberapa pembesar orientalis terhadap kesahihan hadits Nabi Muhammad SAW.
1.    Ignaz Goldziher
Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadist dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi Sahabat Rasul.
Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa tabi’in. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan:
(Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis”) Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang aslli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hdis yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sudah ada , akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu.
[2]
Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadis yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.
Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al- qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.

secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu.
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam enam poin:[3]
1. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama.
2. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5. Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini:
1. Teori Projecting Back
Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis pada masa al Sya’bi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al Sya’bi. Hukum islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim.
2. Teori E Silentio
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya/ jika satu hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.
3. Teori Common Link
Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi lainnya.
Paling tidak ada tiga tesis besar seperti uraian diatas yang diajukan Schacht yang menarik perhatian para sarjana, diantaranya tesis tentang hadits Nabi dilihat dari materinya, atau tentang otentisitas sanad hadits yang terakumulasi dalam teori Projecting back, yang berkaitan juga dengan lahirnya hukum Islam. Pikiran-pikiran tersebut, kalau kita lihat secara keseluruhan, ternyata saling berkaitan, hanya saja karena dia seorang ahli hukum, pembahasan otentisitas hadits di bawah ini nampaknya tidak dapat dihindari dari pembahasan lainnya tentang hukum.[23]

3.    Jyunboll
Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence. Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu. Seperti hadis “man kadzaba...…” Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun pada saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat Abu hanifah adalah merupakan tokoh yang sering mengenyampingkan hadis.[4]
Oleh karena itu jika ada koleksi hadis yang menggunakan namanya, maka hal tersebut harus dipandang sebagai hasil dari suatu usaha dari para pendukung mazhab Hanafi untuk mengkompromikan perbedaan antara madrasah ahl al-ra’y dengan madrasah ahl al-hadits. 
Jyunboll mendukung teori E-silentionya Schacht sembari menambahkan bahwa kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi hadisnya berbeda atau tidak menemukan hadis yang dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadis itu terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu. Demikian juga dengan teori Common Linknya Schacht dia menyebutnya sebagai teori yang brilliant sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran riel bagi ahl al-hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhadisin tidak pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadis.
Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya.
Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat hadits), semakin besar pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim kesejarahan, shahih. Artinya, jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara autentik adalah jalur periwayatan yang bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara yang bercabang hanya satu jalur (single strand), tidak dapat dipercaya secara mutlak kebenarannya dha’if.

B.   Bantahan Ulama’ Muslim terhadap pemikiran Orientalis

1.    Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh beberapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.
Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh.[5]
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual.
Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya.
Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan.
 2.    Bantahan untuk Josep Schacht
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis.
Ja’far Ishaq Anshari dan Azami dalam sanggahannya, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang syafi’i, kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat dan tabi’in.
Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsarasy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf.
Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan adanya faktor-faktor lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa mencantumkan hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah untuk menghimpun hadis, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum serta diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadis utuk mendukung berbagai doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak selalu menyebutkan hadis-hadis yang relevan dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadis-hadis tersebut ada.
Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinyaProjecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul SAW sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.
 3.    Bantahan untuk Jyunboll
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metodecommon link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common linksebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.



BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Kajian orientalis tidaklah harus ditanggapi dengan emosi yang menghilangkan nilai ilmiah bagi sebuah penelitian. Bahkan secara eksplisit karena merekalah saat ini umat muslim mencoba bangkit dan berani mengkoreksi nash-nash yang telah dianggap sakral dan tidak bisa tersentuh dari kritik. Pengkoreksian ini bukanlah berarti menggap bahwa tesis yang dihasilkan para orientalis ini merupakan sebuah hasil yang harus diterima secara mentah-mentah, namun harus juga ditanggapi denga objektif, data yang valid serta metodologi yang juga bisa diterima oleh kalangan akademis.
Sehingga sebenarnya para sarjana muslim sendiri bersikap berbeda dalam memandang kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang memandang sebagai murni kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak yang menganggap sebagai sebuah propaganda melawan Islam. Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu: 1) Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient). 2) Bahwa Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. 3) Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.
Namun harus diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis banyak yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam perlu bersikap kritis dan profesional dalam mengkaji dan menanggapi karya-karya orientalis itu.
B.   Penutup
Demikian makalah ini kami susun, kritik dan saran yang membangun kami butuhkan untuk karya tulis yang lebih baik lagi.



DAFTAR PUSTAKA

Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html,

Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist  Website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57,

M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004)

Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht...,



[1] Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht..., hal. 54.
[2] Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html, diakses tanggal 17 Juni 2014.
[3] M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004), hal. 232-233.
[4] Khoirul Asfiyak, diakses tanggal 17 Juni 2014.
[5] Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist Website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, diakses tanggal 17 Juni 2014