Selamat Datang di Blog Wanita Sosial(ita), Semoga Bermanfaat

Senin, 06 Oktober 2014

Hadist menurut kuantitas dan kualitas



PEMBAGIAN HADIST DI TINJAU DARI SEGI KWANTITAS
 DAN KWALITAS


1.      PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
       Hadits atau disebut juga sunah adalah segala sesuatu yang bersumber dan disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan perbuatan dan ketetapan.Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah Al-Quran. Hadits tersebut merupakan sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan tingkat kesohohan suatu hadist ,Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits sebagai sumber ajaran. Karana ilmu hadist adalah salah satu disiplin ilmu agama yang sangat penting terutama untuk mempelajari dab menguasai hadist secara baik tepat dan benar.[1]
            Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif.Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang. Maka dari itu Makalah ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas dan kwalitas.

B.  Rumusan Masalah.
1.      Bagaimanakah pembagian hadits  ditinjau dari segi kuantitas?
2.      Bagaimanakah Pembagian Hadist ditinjau dari segi kwalitas?




2.      PEMBAHASAN
1.         Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas Rawi
       Kuantitas hadits disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadits atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadits Mutawatir dan hadits Ahad,
1.         HADIST MUTAWATIR
*       Ta’rif Hadits Mutawatir
            Kata mutawatir Menurut lughat ialah al-mutatabi yang berarti beriring-iringan atau beruntun antara satu dengan yang lain.Sedangkan menurut istilah ialah:“Hadist yang didasarkan pada pancaindera,dan diriwayatkan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak dan mustahil menurut tradisi mereka berdusta.[2]
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwasanya hadis Mutawatir adalah Hadist yang bersifat indrawi (di dengar atau di lihat) yang diriwayatkan oleh banyak orang dan mencapai tingkat maksimal di seluruh tingkatan sanad dan akal menghukumi mustahil dengan jumlah yang maksimal itu mereka berpijak untuk kebohongan.[3]
a)         Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera.
 Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Diriwayatkan sejumlah orang banyak
Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.[4]
b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang.Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Jumhur Ulama’menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang ( surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).[5]
3.    Mustahil bersepakat untuk berdusta
     Hal ini memberikan kejelasan bahwa penentuan jumlah jumlah tertentu bukan merupakan ukuran pokok untuk menetapkan suatu hadist Mutawatir adapun yang menjadi ukuran ialah apakah dengan jumlah orang orng yang membawa berita itu sudah mencapai ilmu dharuri[6]atau belum, artinya sudah memberikan kepastian akan kebenaran berita .[7]
4.    Seimbang jumlah sanad pada tiap tiap tabaqohnya
     Jumlah sanad hadist Mutawatir sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya.harus seimbang. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.




*   Macam macam Hadist Mutawatir
a)      Hadits Mutawatir Lafdhi
Hadits mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga dipandang sebagai hadis mutawatir lafdhi, hadis mutawatir dengan susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadits itu tetap sama. Contoh hadits mutawatir lafdhi: “Rasulullah SAW, bersabda:  من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده في النار.“Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam neraka”. (Hadis Riwayat Bukhari). Hadits tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada 62 orang sahabat Rasul yang meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama[8].
b)      Hadits Mutawatir Maknawi
mutawatir maknawi adalah hadits mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya nya hadist yang berbeda bunyi pelafalannya akan tetapi maksud dan tujuannya sama. Dengan kata lain, hadits-hadits yang banyak itu, kendati berbeda redaksi serta perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama[9]. Jumlah hadits-hadits yang termasuk hadits mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadits-hadits yang termasuk hadits mutawatir lafdhi. Contoh hadits mutawatir maknawi yang artinya:“Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan”. (Hadis Riwayat Mutafaq’ Alaihi)[10]
c)      Hadits Mutawatir Amali
Perbuatan / Amalan Syari’ah yang dapat diketahui oleh nabi , dan telah mutawatir diantara kaum muslimin (mulai dari para sahabat, tabi’in dan seterusnya sampai pada generasi kita sekarang) bahwa nabi mengerjakannya atau memerintahkannya. Misalnya tentang jumlah rakaat dalam shalat fardhu yang lima, sholat janazah dan shalat ied adalah merupakan hal-hal yang diperintahkan agama dan selalu dikerjakan sejak masa nabi, para sahabat dan dilanjutkan dari generasi ke generasi berikutnya.

2.             HADIST AHAD
A.                 Pengertian Hadist Ahad
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka ahad atau khabar wahid berarti yang di sampaikan oleh satu orang. Adapun yang di maksud dengan hadits ahad menurut istilah banyak di definisikan oleh para ulama’ yang jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadits mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadits mutawatir. Jumhur ulama’ sepakat bahwa hadits ahad yang tidak memenuhi ketentuan maqbul, hukumnya adalah wajib.[11]
B.                 Pembagian Hadits Ahad
Macam-macam hadits ahad berdasarkan jalan periwayatan itu ada 3 macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan ghorib.
1.              Masyhur (المشهور) adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi disetiap tingkatan, tapi belum sampai pada derajat muttawattir.Contohnya perkataan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,المسام من سلم المسلمون من لسانه و يده“Muslim sejati adalah muslim yang saudaranya terbebas dari gangguan lisan dan tangannya.”
2.              ‘Aziz (العزيز) adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua rowi saja dimasing-masing tingkatan. Contohnya perkataaan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده و الناس أجمعين Artinya “Tidak sempurna iman kalian hingga Aku lebih dia cintai dari orang tua, anaknya bahkan manusia seluruhnya.”
3.              Ghorib (الغريب)  adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Contohnya perkataan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى…“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah dinilai bila disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh sesuai apa yang diniatkannya…(hingga akhir hadits)” (HR. Bukhori dan Muslim).Hadits diatas dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khotob rodhiallahu ‘anhu dan yang meriwayatkan dari Umar hanya ‘Alqomah ibn Abi Waqosh dan yang meriwayatkan dari ‘Alqomah bin Waqqosh hanya Muhammad ibn ibrohim kemudian Yahya bin Said al Khudri.Dengan demikian hadist diatas Ghorib Mutlaq (perawi satu orang)karna hanya Umar bin Khotob di kalangan sahabat sajalah yang meriwayatkan hadist tersebut.[12]

B.            Pembagian Hadist berdasarkan Kwalitas
A.       HADITS SHAHIH
1.       Pengertian Hadits Shahih
Kata shahîh secara etimologi dari kata shahha, yashihhu, shuhhan wa shihhatan wa shahhâhan. Yang menurut bahasa berarti sehat, yang selamat, yang benar, yang sah, dan yang sempurna yang merupakan lawan dari saqim (sakit).Menurut ‘ulama ahli hadits, definisi hadits shahih secara terminologi adalah:
ما رواه عدل تام الضبط متصل مسند غير معلل ولا شاذ “Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannnya, bersambung terus sanadnya kepada Nabi s.a.w., tidak ber-illat (ada sesuatu yang cacat) dan tidak syadz (bersalahan riwayat itu dengan riwayat yang lebih raih dari padanya).”
2.        Syarat-syarat Hadits Shahih
Berdasarkan beberapa definisi hadits shahih maka sebagaimana dikemukakan oleh para ‘ulama hadits, diketahui ada lima syarat yang harus dipenuhi, diantaranya:
a. اتصال السند artinya hadits shahih adalah hadits yang musnad (hadits yang lagsung marfu’ kepada Nabi saw) bersambung sampai nabi
b.  العدل artinya diriwayatkan oleh tokoh sanad hadits yang bersifat adil
c. الضبط semua perawinya dhabith, artinya perawi hadits tersebut memiliki ketelitian dalam menerima hadits, memahami apa yang ia dengar, serta mampu mengingat dan menghafalnya sejak ia menerima hadits.
d. غير شاذ hadits shahih bukanlah hadits yang syadz (kontroversial) atau sejahtera dari keganjilan (tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih rajih).
e.  غير معال hadits shihih bukan hadits yang terkena ‘illat (cacat).[13]
Kelima persyaratan di atas merupakan tolak ukur untuk menentukan suatu hadits itu sebagai hadits shahih. Apabila kelima syarat terpenuhi secara sempurna, maka hadits tersebut dinamai hadits Shahih Lidzatihi.
3.       Macam-macam Hadits Shahih
Para ‘ulama membagi hadits shahih menjadi dua, yaitu Shahih Lidzatihi dan Shahih Lighairihi.
a.       Shahih Lidzatihi
Hadits Shahih Lidzatihi adalah hadits sohih yang memenuhi syarat dan kriteria secara maksimal sebagaimana disebutkan di atas, dan tidak memerlukan penguat dari yang lainnya.[14] Contoh hadits Shahih Lidzatihi: Diberitahukan oleh Ibn Umar bahwasannya Nabi s.a.w. bersabda:
بني الإسلام على خمس: شهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة وصوم رمضان والحج
b.       Shahih Lighairihi
Hadits Shahih Lighairihi adalah hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya keterangan lain atau bisa juga disebut hadist yang tidak memenuhi syarat syarat secara maksimal. Hadits kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek ke-dhabit-an perawinya (qalil adh-dhabth). Di antara perawinya ada yang kurang sempurna kedhabitannya, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan untuk menduduki derajat hadits Shahih Lidzatihi.Contoh hadits Shahih Lighairihi Diberitakan oleh Abu Hurairah r.a
ان رسول الله ص م قال: لولا ان اشق على امتى لامرتهم بالسواك عند كل صلاة
Contoh di atas merupakan hasil penelitian para ‘ulama yang dinukil oleh Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits.
4.       Hukum dan Ke-hujjah-an Hadits Shahih
Para ‘ulama hadits, demikian juga para ‘ulama Ushul Fiqh dan Fuqaha, sepakat menyatakan bahwa hukum hadits shahih adalah wajib untuk menerima dan mengamalkannya. Hadits shahih adalah hujjah  dan dalil penetapan hukum syara’, oleh karenanya tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk meninggalkannya.
2.      HADIST HASAN
1.    Pengertian Hadits Hasan
Hasan berasal dari kata hasuna, yahsunu, yang berarti baik. Menurut Ath-Thibi Hadits hasan adalah:
مسند من قرب من درجة الثقه اومرسل ثقة وروي كلاهما من غير وجه وسلم من شذوذ وعلة  “Hadits musnad (muttasil dan marfu’) yang sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah, atau hadits mursal yang sanadnya tsiqah, akan tetapi pada keduanya ada perawi lain. Hadits itu terhindar dari syadz dan ‘illat.”Mengenai istilah, telah terjadi perselisihan di antara para ‘ulama, karena hadits hasan terletak di antara hadits shahih dan hadits dha’if. Hadits hasan ialah hadits yang memenuhi syarat syarat hadist sohih seluruhnya  sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi kurang sedikit dhabith, tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga terdapat cacat.[15]
2.    Syarat-syarat Hadits Hasan
Syarat-syarat hadits hasan sama seperti halnya hadits shahih, dengan melihat pengertian hadits hasan itu sendiri, yang berbeda hanya bidang hafalannya. Untuk hadits hasan, hafalan rawi ada yang kurang sedikit bila dibandingkan dengan hadits shahih.
3.    Macam-macam Hadits Hasan
Seperti halnya hadits shahih, hadits hasan dibagi menjadi dua, yaitu: hadits hasan lidzatihi dan hadits hasan lighairihi.
a.     Hadits hasan lidzatihi
Hadits hasan lidzatihi ialah hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya syudzudz dan ‘illat.Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dan Abu Hurairah, bahwasannya Rasul bersabda  لولا ان اشق على امتى لا مرتهم بالسواك عند كل صلاة“Sekiranya tidak aku memberatkan umatku, tentulah aku memerintahkan mereka berisiwak di tiap-tiap shalat”.
b.     Hadits hasan lighairihi
Hadits hasan lighairihi adalah hadits yang di dadalam isnadnya terdapat orang yang tidak diketahui keadaannya, tidak bisa dipastikan kelayakan atau tidaknya. Namun ia bukan orang yang lengah yang banyak berbuat salah dan tidak pula berbuat dusta. Sedangkan matannya didukung oleh muttabi’ atau syahidz.Contoh hadits hasan lighairihi
ارضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم فاجاز“Apakah engkau suka menyerahkan diri engkau dan harta engkau dengan hanya sepasang sepatu? Perempuan tersebut menjawab: ya, maka Nabi s.a.w. membernarkannya”
4.             Hukum Hadits Hasan
Di dalam kehujjahannya ia seperti hadits shohih, meskipun kekuatannya dibawah hadits shohih. Oleh karena itu seluruh ulama fiqh, dan sebagian besar ulama hadits dan ulama ushul menjadikannya sebagai hujjah serta mengamalkanny
3.      HADIST DHO’IF
a.         Pengertian hadist Dho’if
Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat.yaitu lemah.Hadis dhaif menurut istilah adalah hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat     hadist hasan,misalnya sanad nya tidak bersambung ,perawinya tidak adil dan tidak dhobit,terjadi keganjilan,baik dalam sanad maupun matan (syadz) dan terjadi cacat yang tersembunyi (‘illat) pada sanad dan matan .[16]
b.         Contoh hadist Dho’if
Hadist yang diriwayatkan oleh Attirmidzi melalui Jalal Hakim Al Atsram dari abu TamimahAl Hujaimi dari abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda yang artinaya:
Barang siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur)atau pada dukun ,maka ia telah mengingkari apa yang telah diturunkan pada nabi Muhammad SAW.
                        Dalam sanad hadist tersebut terdapat seorang yang Dho’if yaitu Hakim Attasaram,yang dinilai do’if oleh para ulama’Al Hafidz ibnu Hajar dalam Taqrib Attahzib memberikan komentar fihi layyinun : padanya lemah.[17]
c.         Hukum Pengamalannya
Terdapat perbedaan ulama mengenai pengamalan hadits dlo’if. Ulama jumhur menganjurkan mengamalkannya jika berkenaan dengan fadlilah-fadlilah ibadah tetapi dengan beberapa syarat yang diterangkan oleh Al-Hafidz Ibn Hajr dalam kitab Tadrib Al-Rawi.diantara nya tidak berkaitan tentang akidah, tidak menjelaskan hukum syara’yang berkaitan tentang halal haram.[18]











4.              KESIMPULLAN & PENUTUP

A.           Kesimpulan
Ditinjau dari aspek kualitasnya, hadis dibedakan menjadi 3 yaitu : Shoheh, Hasan dan  Dlo’if . Hadis Shoheh adalah “Hadits yang sanadnya sambung, dikutip oleh orang yang adil lagi dlobith (cermat) dari orang yang sama, sampai berakhir kepada Rosulullah saw. atau kepada sahabat atau kepada tabi’in, bukan hadits yang syadz (kontroversial) dan terkena illat (yang menyebabkannya cacat dalam penerimaannya). Hadis hasan adalah Hadits yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun tidak terlalu kuat ingatannya, dan terhindar dari syadz (kontroversi) serta illat. Sedangkan hadis dhoif adalah hadits yang tidak sampai memenuhi kriteria hadits shohih maupun hasan.
Apabila kita mendapati hadits yang kita teliti mutawatir maka, langsung dapat dihukumi sahih. Dan tingkat kesahihannya adalah yang paling tinggi. Hal ini karena tingkat validitas informasi yang didukung banyak saksi –meski tanpa memandang status informan- tentu lebih tinggi daripada informasi yang hanya memiliki saksi satu atau dua orang saja –meski integritas dan kredibilitasnya diakui.

B.            Penutup

           Demikian ini yang dapat kami paparkan mengenai pembagian hadist berdasarkan kwalitas dan kwantitas.Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan kami dan kurangnya rujukan atau referensi .Penulis berharap pembaca budiman dapat memberikan kritik dan saran yang konstruktif kepada penulis demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca budiman. Amin..




DAFTAR PUSTAKA
Hasbi ash-Shiddieqy,Muhammad Teungku,Ilmu Hadist ,Semarang: Pustaka Riski Putra,2002.
Majid Khon ,Abdul, Ulumul Hadis ,Jakarta: Amza ,2012.
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis ,Jakarta: Gaya Media Pratama ,1996.
Sohari, Sahrani,Ulumul Hadist ,Bogor: Galia Indonesia, 2002.
Suryadilaga Alfatih ,Ulumul Hadist ,Yogyakarta: Teras , 2010.




[1] Utang Ranuwijaya , Ilmu Hadist (Jakareta: Gaya Media Permata ,1996), hlm ix
[2] Abdul Majid Khon,Ulumul Hadist,(Amzah, Jakarta ,2012 ),hlm 146.
[3] Ibid.,hlm,146 alenia terakhir.
[4] Di sebutkan dalam Qur’an surat An – Nur (24): 4 – 9 juz 18.
[5] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadist ,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm126.
[6] ilmu dharuri yaitu pengetahuan yang dapat diperoleh secara langsung dan keharusan seseorang untuk menerima serta  mengamalkan  tanpa memerlukan penelitian dan dalil, seperti pengetahuan bahwa api itu panas.sumberSumber:http://www.almanhaj.or.id/content/2308/slash/0 diakses 27 maret 2014 pukul 12:55
[7] Ibid,.hlm 127.
[8] M.Alfatih Suryadilaga , Ulumul Hadist (Yogyakarta : Teras, 2010).hlm,228
[10] Ibid., hlm 229.
[11] Sohari Sahrani,Ulumul Hadist,(Bogor: Galia Indonesia, 2002).,hlm 93.
[12] Abdul Majid Khon,Ulumul Hadist,(Amzah, Jakarta ,2012 ),hlm 161.
[13] DR.Muhammad ‘Ajaj Al-khatib,Ushul Hadis ”pokok pokok ilmu hadist”,(Jakarta:Gaya Media Pratama,2003),hlm 276-277
[14]Ibid.,hlm 277.

[15] DR.Muhammad ‘Ajaj Al-khatib,Ushul Hadis ”pokok pokok ilmu hadist”,(Jakarta:Gaya Media Pratama,2003),hlm 229
[16] Abdul Majid Khon,Ulumul Hadist,(Amzah, Jakarta ,2012 ),hlm 184. Lihat juga di Abdul Majid Khon,Ulumul Hadist,(Amzah, Jakarta ,2012 ),hlm 184.
[17] Ibid., hlm.184-185.
[18] Ibid., hlm 185.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar