PEMBAGIAN HADIST DI TINJAU DARI SEGI KWANTITAS
DAN KWALITAS
1.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hadits atau disebut
juga sunah adalah segala sesuatu yang bersumber dan disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW baik berupa perkataan perbuatan dan ketetapan.Dalam tradisi Islam,
hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah Al-Quran. Hadits
tersebut merupakan sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi
masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah
hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan tingkat kesohohan suatu hadist ,Sehingga
dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits
sebagai sumber ajaran. Karana ilmu hadist adalah salah satu disiplin ilmu agama
yang sangat penting terutama untuk mempelajari dab menguasai hadist secara baik
tepat dan benar.[1]
Mengingat
banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga
upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak
masa sahabat yang dilakukan secara selektif.Para muhaddisin, dalam menentukan
dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya
syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena
mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang. Maka
dari itu Makalah ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas
pembagian-pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas dan kwalitas.
B. Rumusan Masalah.
1.
Bagaimanakah
pembagian hadits ditinjau dari segi
kuantitas?
2.
Bagaimanakah
Pembagian Hadist ditinjau dari segi kwalitas?
2.
PEMBAHASAN
1.
Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas Rawi
Kuantitas hadits disini
yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadits atau dari segi
jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi
dua macam, yaitu hadits Mutawatir dan hadits Ahad,
1.
HADIST MUTAWATIR
Ta’rif
Hadits Mutawatir
Kata mutawatir
Menurut lughat ialah al-mutatabi yang berarti beriring-iringan
atau beruntun antara satu dengan yang lain.Sedangkan menurut istilah
ialah:“Hadist yang didasarkan pada pancaindera,dan diriwayatkan oleh segolongan
orang yang mencapai jumlah banyak dan mustahil menurut tradisi mereka berdusta.[2]
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwasanya hadis Mutawatir
adalah Hadist yang bersifat indrawi (di dengar atau di lihat) yang diriwayatkan
oleh banyak orang dan mencapai tingkat maksimal di seluruh tingkatan sanad dan
akal menghukumi mustahil dengan jumlah yang maksimal itu mereka berpijak untuk
kebohongan.[3]
a)
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan
mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera.
1. Berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera.
Artinya bahwa berita
yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau
rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti
tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat)
sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun
rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Diriwayatkan sejumlah orang banyak
2. Diriwayatkan sejumlah orang banyak
Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat
mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat
tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.[4]
b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang.Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Jumhur Ulama’menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang ( surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).[5]
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.[4]
b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang.Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Jumhur Ulama’menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang ( surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).[5]
3. Mustahil bersepakat untuk berdusta
Hal ini memberikan kejelasan bahwa
penentuan jumlah jumlah tertentu bukan merupakan ukuran pokok untuk menetapkan
suatu hadist Mutawatir adapun yang menjadi ukuran ialah apakah dengan
jumlah orang orng yang membawa berita itu sudah mencapai ilmu dharuri[6]atau
belum, artinya sudah memberikan kepastian akan kebenaran berita .[7]
4. Seimbang jumlah sanad pada tiap tiap
tabaqohnya
Jumlah
sanad hadist Mutawatir sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan)
pertama maupun thabaqat berikutnya.harus seimbang. Hadits mutawatir yang
memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban
dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat
karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat
bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Macam macam Hadist Mutawatir
a) Hadits
Mutawatir Lafdhi
Hadits mutawatir lafdhi adalah mutawatir
dengan susunan redaksi yang persis sama. Dengan demikian garis besar serta
perincian maknanya tentu sama pula, juga dipandang sebagai hadis mutawatir
lafdhi, hadis mutawatir dengan susunan sedikit berbeda, karena sebagian
digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna
atau maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadits itu tetap
sama. Contoh hadits mutawatir lafdhi: “Rasulullah SAW, bersabda: من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده في النار.“Siapa yang
sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam
neraka”.
(Hadis Riwayat Bukhari). Hadits tersebut menurut keterangan Abu Bakar
al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan
ulama lain, ada 62 orang sahabat Rasul yang meriwayatkan hadis itu dengan
redaksi yang sama[8].
b)
Hadits Mutawatir Maknawi
mutawatir maknawi adalah hadits
mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya nya
hadist yang berbeda bunyi pelafalannya akan tetapi maksud dan tujuannya sama.
Dengan kata lain, hadits-hadits yang banyak itu, kendati berbeda redaksi serta perincian
maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama[9].
Jumlah hadits-hadits yang termasuk hadits mutawatir maknawi jauh lebih
banyak dari hadits-hadits yang termasuk hadits mutawatir lafdhi. Contoh
hadits mutawatir maknawi yang artinya:“Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak
mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang
putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan”. (Hadis Riwayat Mutafaq’
Alaihi)[10]
c) Hadits Mutawatir Amali
Perbuatan /
Amalan Syari’ah yang dapat diketahui oleh nabi , dan
telah mutawatir diantara kaum muslimin (mulai dari para sahabat, tabi’in dan
seterusnya sampai pada generasi kita sekarang) bahwa nabi mengerjakannya atau
memerintahkannya. Misalnya tentang jumlah rakaat dalam shalat fardhu yang lima,
sholat janazah dan shalat ied adalah merupakan hal-hal yang diperintahkan agama
dan selalu dikerjakan sejak masa nabi, para sahabat dan dilanjutkan dari
generasi ke generasi berikutnya.
2.
HADIST AHAD
A.
Pengertian
Hadist Ahad
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti
satu, maka ahad atau khabar wahid berarti yang di sampaikan oleh satu
orang. Adapun yang di maksud dengan hadits ahad menurut istilah banyak di
definisikan oleh para ulama’ yang jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi
hadits mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan
seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak
mencapai jumlah perawi hadits mutawatir. Jumhur ulama’ sepakat bahwa hadits
ahad yang tidak memenuhi ketentuan maqbul, hukumnya adalah wajib.[11]
B.
Pembagian Hadits Ahad
Macam-macam hadits ahad berdasarkan
jalan periwayatan itu ada 3 macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan ghorib.
1.
Masyhur (المشهور)
adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi disetiap tingkatan, tapi belum
sampai pada derajat muttawattir.Contohnya perkataan Nabi Muhammad Shallallahu
'Alaihi wa Sallam,المسام من سلم المسلمون من لسانه و
يده“Muslim sejati adalah muslim yang saudaranya terbebas dari
gangguan lisan dan tangannya.”
2.
‘Aziz (العزيز)
adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua rowi saja dimasing-masing tingkatan.
Contohnya perkataaan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده و الناس أجمعين Artinya “Tidak sempurna iman kalian hingga Aku
lebih dia cintai dari orang tua, anaknya bahkan manusia seluruhnya.”
3.
Ghorib (الغريب) adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu
orang saja. Contohnya perkataan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى…“Sesungguhnya
setiap amal perbuatan itu hanyalah dinilai bila disertai dengan niat, dan
sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh sesuai apa yang diniatkannya…(hingga
akhir hadits)” (HR. Bukhori dan Muslim).Hadits diatas dari Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khotob rodhiallahu
‘anhu dan yang meriwayatkan dari Umar hanya ‘Alqomah ibn Abi Waqosh
dan yang meriwayatkan dari ‘Alqomah bin Waqqosh hanya Muhammad ibn ibrohim
kemudian Yahya bin Said al Khudri.Dengan demikian hadist diatas Ghorib Mutlaq
(perawi satu orang)karna hanya Umar bin Khotob di kalangan sahabat sajalah yang
meriwayatkan hadist tersebut.[12]
B.
Pembagian Hadist berdasarkan Kwalitas
A. HADITS SHAHIH
1. Pengertian Hadits Shahih
Kata shahîh
secara etimologi dari kata shahha, yashihhu, shuhhan wa shihhatan wa
shahhâhan. Yang menurut bahasa berarti sehat, yang selamat, yang benar,
yang sah, dan yang sempurna yang merupakan lawan dari saqim (sakit).Menurut
‘ulama ahli hadits, definisi hadits shahih secara terminologi adalah:
ما رواه عدل تام
الضبط متصل مسند غير معلل ولا شاذ “Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna
kedhabitannnya, bersambung terus sanadnya kepada Nabi s.a.w., tidak
ber-illat (ada sesuatu yang cacat) dan tidak syadz (bersalahan riwayat itu
dengan riwayat yang lebih raih dari padanya).”
2. Syarat-syarat
Hadits Shahih
Berdasarkan
beberapa definisi hadits shahih maka sebagaimana dikemukakan oleh para ‘ulama
hadits, diketahui ada lima syarat yang harus dipenuhi, diantaranya:
a. اتصال السند artinya
hadits shahih adalah hadits yang musnad (hadits yang lagsung marfu’
kepada Nabi saw) bersambung sampai nabi
b. العدل artinya diriwayatkan oleh tokoh sanad
hadits yang bersifat adil
c. الضبط semua perawinya
dhabith, artinya perawi hadits tersebut memiliki ketelitian dalam menerima
hadits, memahami apa yang ia dengar, serta mampu mengingat dan menghafalnya
sejak ia menerima hadits.
d. غير شاذ hadits
shahih bukanlah hadits yang syadz (kontroversial) atau sejahtera dari
keganjilan (tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih rajih).
e. غير معال hadits shihih bukan hadits yang terkena
‘illat (cacat).[13]
Kelima
persyaratan di atas merupakan tolak ukur untuk menentukan suatu hadits itu
sebagai hadits shahih. Apabila kelima syarat terpenuhi secara sempurna,
maka hadits tersebut dinamai hadits Shahih Lidzatihi.
3. Macam-macam Hadits
Shahih
Para ‘ulama
membagi hadits shahih menjadi dua, yaitu Shahih Lidzatihi dan Shahih
Lighairihi.
a. Shahih
Lidzatihi
Hadits Shahih
Lidzatihi adalah hadits sohih yang memenuhi syarat dan kriteria secara maksimal
sebagaimana disebutkan di atas, dan tidak memerlukan penguat dari yang lainnya.[14] Contoh
hadits Shahih Lidzatihi: Diberitahukan oleh Ibn Umar bahwasannya Nabi s.a.w.
bersabda:
بني الإسلام على خمس: شهادة ان لااله الا الله وان
محمدا رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة وصوم رمضان والحج
b. Shahih
Lighairihi
Hadits Shahih
Lighairihi adalah hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya keterangan lain
atau bisa juga disebut hadist yang tidak memenuhi syarat syarat secara
maksimal. Hadits kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek
ke-dhabit-an perawinya (qalil adh-dhabth). Di antara perawinya ada yang kurang
sempurna kedhabitannya, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk
dikategorikan untuk menduduki derajat hadits Shahih Lidzatihi.Contoh hadits
Shahih Lighairihi Diberitakan oleh Abu Hurairah r.a
ان رسول الله ص م قال: لولا ان اشق على امتى لامرتهم
بالسواك عند كل صلاة
Contoh di atas merupakan hasil penelitian para ‘ulama yang dinukil
oleh Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Pokok-pokok Ilmu
Dirayah Hadits.
4. Hukum dan
Ke-hujjah-an Hadits Shahih
Para ‘ulama
hadits, demikian juga para ‘ulama Ushul Fiqh dan Fuqaha, sepakat menyatakan
bahwa hukum hadits shahih adalah wajib untuk menerima dan mengamalkannya.
Hadits shahih adalah hujjah dan dalil
penetapan hukum syara’, oleh karenanya tidak ada alasan bagi setiap muslim
untuk meninggalkannya.
2.
HADIST HASAN
1. Pengertian Hadits Hasan
Hasan berasal
dari kata hasuna, yahsunu, yang berarti baik. Menurut Ath-Thibi Hadits
hasan adalah:
مسند من قرب من
درجة الثقه اومرسل ثقة وروي كلاهما من غير وجه وسلم من شذوذ وعلة “Hadits musnad
(muttasil dan marfu’) yang sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah, atau
hadits mursal yang sanadnya tsiqah, akan tetapi pada keduanya ada perawi lain.
Hadits itu terhindar dari syadz dan ‘illat.”Mengenai istilah,
telah terjadi perselisihan di antara para ‘ulama, karena hadits hasan terletak
di antara hadits shahih dan hadits dha’if. Hadits hasan
ialah hadits yang memenuhi syarat syarat hadist sohih seluruhnya sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh
orang yang adil tetapi kurang sedikit dhabith, tidak terdapat di dalamnya suatu
kejanggalan dan tidak juga terdapat cacat.[15]
2. Syarat-syarat Hadits
Hasan
Syarat-syarat
hadits hasan sama seperti halnya hadits shahih, dengan melihat pengertian
hadits hasan itu sendiri, yang berbeda hanya bidang hafalannya. Untuk
hadits hasan, hafalan rawi ada yang kurang sedikit bila dibandingkan dengan
hadits shahih.
3. Macam-macam Hadits
Hasan
Seperti halnya hadits shahih, hadits hasan dibagi menjadi dua,
yaitu: hadits hasan lidzatihi dan hadits hasan lighairihi.
a. Hadits hasan lidzatihi
Hadits hasan
lidzatihi ialah hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil
yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya syudzudz dan
‘illat.Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dan Abu
Hurairah, bahwasannya Rasul bersabda لولا ان اشق على امتى لا مرتهم بالسواك عند كل
صلاة“Sekiranya tidak aku memberatkan umatku, tentulah aku
memerintahkan mereka berisiwak di tiap-tiap shalat”.
b. Hadits hasan
lighairihi
Hadits hasan
lighairihi adalah hadits yang di dadalam isnadnya terdapat orang yang tidak
diketahui keadaannya, tidak bisa dipastikan kelayakan atau tidaknya. Namun ia
bukan orang yang lengah yang banyak berbuat salah dan tidak pula berbuat dusta.
Sedangkan matannya didukung oleh muttabi’ atau syahidz.Contoh hadits hasan
lighairihi
ارضيت من نفسك
ومالك بنعلين؟ قالت: نعم فاجاز“Apakah engkau suka
menyerahkan diri engkau dan harta engkau dengan hanya sepasang sepatu?
Perempuan tersebut menjawab: ya, maka Nabi s.a.w. membernarkannya”
4.
Hukum Hadits Hasan
Di dalam kehujjahannya ia seperti hadits shohih,
meskipun kekuatannya dibawah hadits shohih. Oleh karena itu seluruh ulama fiqh,
dan sebagian besar ulama hadits dan ulama ushul menjadikannya sebagai hujjah
serta mengamalkanny
3.
HADIST DHO’IF
a.
Pengertian
hadist Dho’if
Dha’if menurut bahasa
adalah lawan dari kuat.yaitu lemah.Hadis dhaif menurut istilah
adalah hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan
tidak pula didapati syarat hadist hasan,misalnya
sanad nya tidak bersambung ,perawinya tidak adil dan tidak dhobit,terjadi
keganjilan,baik dalam sanad maupun matan (syadz) dan
terjadi cacat yang tersembunyi (‘illat) pada sanad dan matan .[16]
b.
Contoh
hadist Dho’if
Hadist yang diriwayatkan oleh
Attirmidzi melalui Jalal Hakim Al Atsram dari abu TamimahAl Hujaimi dari abu
Hurairah dari Nabi SAW bersabda yang artinaya:
Barang
siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi atau pada seorang wanita
dari jalan belakang (dubur)atau pada dukun ,maka ia telah mengingkari apa yang
telah diturunkan pada nabi Muhammad SAW.
Dalam sanad hadist
tersebut terdapat seorang yang Dho’if yaitu Hakim Attasaram,yang dinilai do’if
oleh para ulama’Al Hafidz ibnu Hajar dalam Taqrib Attahzib memberikan
komentar fihi layyinun : padanya lemah.[17]
c.
Hukum
Pengamalannya
Terdapat perbedaan ulama mengenai pengamalan hadits
dlo’if. Ulama jumhur menganjurkan mengamalkannya jika berkenaan dengan fadlilah-fadlilah
ibadah tetapi dengan beberapa syarat yang diterangkan oleh Al-Hafidz Ibn
Hajr dalam kitab Tadrib Al-Rawi.diantara nya tidak berkaitan tentang
akidah, tidak menjelaskan hukum syara’yang berkaitan tentang halal haram.[18]
4.
KESIMPULLAN & PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ditinjau dari aspek kualitasnya, hadis dibedakan
menjadi 3 yaitu : Shoheh, Hasan dan
Dlo’if . Hadis Shoheh adalah “Hadits
yang sanadnya sambung, dikutip oleh orang yang adil lagi dlobith (cermat)
dari orang yang sama, sampai berakhir kepada Rosulullah saw. atau kepada
sahabat atau kepada tabi’in, bukan hadits yang syadz (kontroversial) dan
terkena illat (yang menyebabkannya cacat dalam penerimaannya). Hadis hasan adalah Hadits yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang
adil namun tidak terlalu kuat ingatannya, dan terhindar dari syadz
(kontroversi) serta illat. Sedangkan hadis dhoif adalah hadits yang tidak sampai memenuhi kriteria
hadits shohih maupun hasan.
Apabila kita mendapati hadits yang kita teliti
mutawatir maka, langsung dapat dihukumi sahih. Dan tingkat kesahihannya adalah
yang paling tinggi. Hal ini karena tingkat validitas informasi yang didukung
banyak saksi –meski tanpa memandang status informan- tentu lebih tinggi
daripada informasi yang hanya memiliki saksi satu atau dua orang saja –meski
integritas dan kredibilitasnya diakui.
B.
Penutup
Demikian ini yang dapat kami paparkan
mengenai pembagian hadist berdasarkan kwalitas dan kwantitas.Tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan kami dan
kurangnya rujukan atau referensi .Penulis berharap pembaca budiman dapat
memberikan kritik dan saran yang konstruktif kepada penulis demi sempurnanya
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca budiman.
Amin..
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi ash-Shiddieqy,Muhammad Teungku,Ilmu
Hadist ,Semarang: Pustaka Riski Putra,2002.
Majid Khon ,Abdul, Ulumul
Hadis ,Jakarta: Amza ,2012.
Ranuwijaya,
Utang, Ilmu Hadis ,Jakarta: Gaya Media Pratama ,1996.
Sohari,
Sahrani,Ulumul Hadist ,Bogor: Galia Indonesia, 2002.
Suryadilaga
Alfatih ,Ulumul Hadist ,Yogyakarta: Teras , 2010.
http://nurfajry.wordpress.com/tag/hadits-mutawatir-dan-hadits-ahad/ ,
http://www.almanhaj.or.id/content/2308/slash/0
[1]
Utang Ranuwijaya , Ilmu Hadist (Jakareta: Gaya Media Permata ,1996), hlm
ix
[2]
Abdul Majid Khon,Ulumul Hadist,(Amzah, Jakarta ,2012 ),hlm 146.
[3] Ibid.,hlm,146
alenia terakhir.
[4] Di
sebutkan dalam Qur’an surat An – Nur (24): 4 – 9 juz 18.
[5]
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadist ,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996),
hlm126.
[6] ilmu
dharuri yaitu pengetahuan yang dapat diperoleh secara langsung dan keharusan
seseorang untuk menerima serta
mengamalkan tanpa memerlukan
penelitian dan dalil, seperti pengetahuan bahwa api itu panas.sumberSumber:http://www.almanhaj.or.id/content/2308/slash/0
diakses 27 maret 2014 pukul 12:55
[7]
Ibid,.hlm 127.
[8]
M.Alfatih Suryadilaga , Ulumul Hadist (Yogyakarta : Teras, 2010).hlm,228
Diakses 27 Maret 2014 pukul 14:05
[10] Ibid.,
hlm 229.
[11] Sohari
Sahrani,Ulumul Hadist,(Bogor: Galia Indonesia, 2002).,hlm 93.
[12]
Abdul Majid Khon,Ulumul Hadist,(Amzah, Jakarta ,2012 ),hlm 161.
[13] DR.Muhammad
‘Ajaj Al-khatib,Ushul Hadis ”pokok pokok ilmu hadist”,(Jakarta:Gaya
Media Pratama,2003),hlm 276-277
[14]Ibid.,hlm
277.
[15] DR.Muhammad
‘Ajaj Al-khatib,Ushul Hadis ”pokok pokok ilmu hadist”,(Jakarta:Gaya
Media Pratama,2003),hlm 229
[16] Abdul
Majid Khon,Ulumul Hadist,(Amzah, Jakarta ,2012 ),hlm 184. Lihat juga di Abdul
Majid Khon,Ulumul Hadist,(Amzah, Jakarta ,2012 ),hlm 184.
[17] Ibid.,
hlm.184-185.
[18] Ibid.,
hlm 185.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar